Bermusik dari Keteguhan Hati

LIMA tahun silam, penampilan Muhammad Gunawan (Gugun), Jonathan Amstrong (Jono), dan Aditya Wibowo (Bowie), saat membawakan karya Jimi Hendrix, Bettie Davies, Led Zeppelin, hanya dinikmati tak lebih dari lima pengunjung kafe. Itu pun saat para pengunjung itu tak lagi bisa beranjak dari tempat duduk mereka akibat menenggak terlalu banyak alkohol.

Lima tahun yang lalu juga, pilihan grup, yang menamakan dirinya Gugun and The Bluesbug, ini dianggap sebagai keputusan ‘aneh’. Terlebih jarang sekali ada penikmat musik, khususnya anak muda, yang meluangkan waktu menikmati blues di antara gempuran musik pop yang mendominasi pada waktu itu. Alhasil, musik persilangan blues dan rock yang ditampilkan kemudian dianggap sebagai musik kelas dua.

Namun, tak butuh waktu lama bagi band yang berganti nama menjadi Gugun Blues Shelter ini untuk menggaet hati pecinta musik di Tanah Air. Seusai tampil di Jakarta International Blues Festival 2009 dan Java Jazz Festival 2010, kehadiran Gugun dan kawan-kawan pun semakin diperhitungkan di industri musik Indonesia, bahkan internasional.

Salah satu pembuktian yang didapat ialah dengan terpilihnya Gugun Blues Shelter sebagai satu-satunya band asal Asia, menyisihkan 68 negara lain, untuk tampil di panggung utama festival musik dunia Hard Rock Calling 2011, di Hyde Park, London, Juni lalu.

Penampilan mereka di hadapan lebih dari 30 ribu pengunjung yang hadir pada Hard Rock Calling saat itu bisa dibilang sebagai momentum yang tak terduga.

Seusai mengikuti kompetisi yang diadakan oleh Hard Rock International mewakili Hard Rock Jakarta awal tahun lalu, manajemen kemudian menerima telepon dari panitia sebulan sesudahnya.

“Setelah terpilih sebagai juara 1 Hard Rock Battle of Bands, bulan Mei kami mendapat berita menjadi pemenang hadiah utama untuk tampil di event Hard Rock Calling,” cerita Gugun, saat dijumpai setelah konferensi pers peluncuran album Satu untuk Berbagi dan Solid Ground, di Rolling Stone Cafe, Jakarta Selatan (22/12/2011).

Ubah tren

Penghargaan yang diterima di Hard Rock Calling sedikit banyak mengobati kekecewaan Gugun Blues Shelter terhadap penggerak industri musik lokal yang masih memandang karya mereka sebelah mata. “TV jarang ada yang mau mengekspos kita. Kalaupun ada, penontonnya pun kurang jelas,” kelakar Gugun siang itu.

Pria kelahiran Duri, Riau, 1975, itu tak menampik bahwa takaran kesuksesan sebuah band di Indonesia masih diukur dengan seberapa dekat aliran dengan tren yang berkembang, serta seberapa banyak media televisi menampilkan karya-karyanya.

Namun, penolakan yang dirasakan sejak awal berkarya justru membuat mereka tetap optimistis dengan apa yang dikerjakan selama ini. “Kita mencoba jujur. Apa yang kita inginkan, itulah yang kita mainkan,” kata Gugun.

Inovasi untuk menghadirkan musik blues progresif tanpa birama kaku 12 bar, dengan selipan koda di tengah-tengah permainan, membuat apa yang mereka tampilkan tidak pernah monoton. Belum lagi teknik eksperimental dalam setiap penampilan yang membuat petikan gitar dan dentuman drum yang dihadirkan tidak pernah sama.

Apa yang Gugun lakukan perlahan memikat semakin banyak anak muda untuk menikmati karya band ini. Saat tampil di Ambon beberapa waktu lalu, misalnya, tanpa diduga penonton yang hadir ternyata bisa ikut menyanyikan tembang yang mereka lantunkan dengan serentak.

Keyakinan bermusik Gugun dan grupnya itu semakin mendapat tempat dan apresiasi. Selain undangan untuk pentas musik blues, yang penontonnya tak lagi hanya kalangan yang mereka sebut generasi ‘asam urat’, undangan untuk mengisi acara kesenian atau pentas seni juga semakin banyak.

Terhadap perubahan tren penikmat musik tersebut, Bowie, sang drumer, menganalogikan hal itu layaknya aliran musik lain yang telah dibawa oleh beberapa musikus lokal. “Kita punya Endah n Rhesa yang memperkenalkan akustik, dan Barry Likumahua yang akhirnya membuat jazz tak hanya menjadi milik orang tua,” terang Bowie.

Atas apa yang telah dilakukan pendahulunya itulah Bowie pun memimpikan suatu hari musik blues bisa dinikmati semua anak muda layaknya musik lain yang sedang berkembang saat ini. “Kita ingin membuka jalan kepada band yang ingin bermusik seperti kita agar bisa diterima masyarakat,” tambah pria lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu.

Setahun dua album

Tahun 2011 bisa dibilang menjadi tahun penuh gebrakan bagi Gugun Blues Shelter. Selain menginjakkan kaki di Hyde Park, London, grup musik tersebut juga menelurkan dua album sekaligus.

“Total penggarapan kita lakukan dalam 1 bulan, di studio di Cibubur. Satu minggu untuk tiap album sebab konsepnya memang live music dan materi memang sudah siap,” ungkap Gugun.

Pada album keenam, Solid Ground, Gugun Blues Shelter kembali dinaungi perusahaan rekaman asal New York, Grooveyard Records, label indie yang juga merilis album keempat mereka. Album berisikan 11 lagu itu juga telah dirilis di Amerika, Oktober 2011 lalu.

Dalam upaya melebarkan sayap ke pasar ‘Negeri Paman Sam’, Gugun Blues Shelter dihadapkan pada pilihan mengganti nama. “Produser kita di Amerika bilang karya kita terdengar seperti musik trio, layaknya Jimi Hendrix, Creed, The Police, dan lain-lain. Dari situ keluarlah nama Gugun Power Trio,” jelas Gugun yang menerima ini sebagai sebuah tantangan baru.

Meski nama itu telah diperkenalkan di Amerika, mereka mengaku belum ingin mengganti nama secara resmi. “Kalau masih mau pakai Gugun Blues Shelter juga boleh. Tapi, akan resmi diganti atau tidak, kita lihat dalam 1 tahun ini,” terang Bowie.

Kembali kepada tujuan untuk memasyarakatkan musik blues ke pendengar Indonesia, Gugun mengungkapkan keinginannya untuk bisa mengunjungi Purwokerto, Tegal, Kalimantan, dan lebih banyak lagi daerah di Tanah Air. Lebih jauh lagi Gugun bermimpi untuk bisa hadir di panggung festival garapan Eric Clapton, Crossroad Guitar Festival, di Amerika Serikat.

“Kita percaya bisa menjual keunikan Indonesia lewat musik yang kita bawakan,” tutur Gugun. (*/M-5)